BAB 1 “PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI”
1. Pengertian Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk
membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol.
2. Tujuan Hukum Dan Sumber-sumber Hukum
-
Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata
kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di
selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku,selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar
setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
-
Sumber-sumber Hukum
a. Algra
: Sumber hukum dibagi dua macam yaitu formil dan materil.
b. Sumber
hukum materil : tempat darimana materi hukum itu di ambil,faktor
Pembentukan hukum
c. Sumber
hukum formil : Tempat/ sumber dariman suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan
dengan menyebabkan peraturan itu berlaku secara formal.
3. Kodifikasi Hukum
Kodifikasi hukum adlah pembukuan
secara lengkap dan sistematis tentang hukum tertentu. Yang menyebabkan
timbulnya kodifikasi hukum ialah tidak adanya kesatuan dan kepastian hukum (di
Perancis).
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:
a. Hukum
Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam
berbagai peraturan-peraturan.
b. Hukum
Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup
dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati
seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
- Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
- Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
- Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
- Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
4. Kaidah / Norma
Kaidah/Norma hukum adalah aturan
sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga
dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai
dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini
berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
5. Pengertian Ekonomi & Hukum Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu ilmu
sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi,
dan konsumsi terhadap barang dan jasa.
Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perkonomian.Sunaryati Hartono mengatakan bahwa ekonomi adalah penjabaran hukumum ekonomi pembangunan dan sosial,hukum ekonomi tersabut mempunyai 2 aspek , Aspek pengaturan usaha pembangunan ekonomi dan Aspek pengaturan usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat.
Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perkonomian.Sunaryati Hartono mengatakan bahwa ekonomi adalah penjabaran hukumum ekonomi pembangunan dan sosial,hukum ekonomi tersabut mempunyai 2 aspek , Aspek pengaturan usaha pembangunan ekonomi dan Aspek pengaturan usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_hukum
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/pengertian-hukum-hukum-ekonomi-serta-subjek-dan-objek-hukum/
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/pengertian-hukum-hukum-ekonomi-serta-subjek-dan-objek-hukum/
BAB II “SUBYEK DAN OBYEK HUKUM”
1. Subyek Hukum
Subjek hukum adalah
segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam
hukum. Terdiri dari orang dan badan hukum.
Subjek hukum di bagi atas 2 jenis, yaitu :
a.
Subjek Hukum Manusia
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu :
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu :
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
b.
Subjek Hukum Badan Usaha
Adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan usaha mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan usaha mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
2.
Obyek Hukum
Objek hukum adalah
segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu
hubungan hukum. Objek hukum berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat
dimiliki dan bernilai ekonomis.
Jenis objek hukum
yaitu berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi
menjadi 2, yakni
a.
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak
b.
Benda yang bersifat tidak
kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
3. Hak Kebendaan Yang Bersifat Sebagai
Pelunasan (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang
bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur
yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda
melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap
suatu prestasi (perjanjian).
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum : - Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai
dengan uang)
- Benda tersebut bisa dipindahtangankan
haknya pada pihak lain
2. Jamian yang bersifat khusus: - Gadai
- Hipotik
- Hak Tanggungan
- Fidusia
Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/subjek-hukum-objek-hukum
http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/hak-kebendaan-yang-bersifat-sebagai-pelunasan-hutang-hak-jaminan/
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum : - Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai
dengan uang)
- Benda tersebut bisa dipindahtangankan
haknya pada pihak lain
2. Jamian yang bersifat khusus: - Gadai
- Hipotik
- Hak Tanggungan
- Fidusia
Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/subjek-hukum-objek-hukum
http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/hak-kebendaan-yang-bersifat-sebagai-pelunasan-hutang-hak-jaminan/
BAB III “HUKUM PERDATA”
1. Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
1.1 Sejarah Singkat Hukum Perdata
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di
Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan
Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu
sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu hukum di di
Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana tiap-tiap daerah memiliki
peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan terlihat jelas bahwa tidak adanya
kepastian hukum yang menunjang, sehingga orang mencari jalan untuk
kepastian hukum dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804batas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata
dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais”
yang juga dapat disebut “Code Napoleon”.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman
Romawi anatar lain masalah wessel, assuransi, dan badan-badan hukum. Akhirnya
pada jaman Aufklarung (jaman baru pada sekitar abad pertengahan) akhirnya
dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811),
maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor
het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk
dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan
dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini
tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun
kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai
memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5
Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan
WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan
bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais danCode de Commerce.
Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland
ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik
Hukum).
Sampai saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW
(Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
1.2. Pengertian Dan Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia
Hukum Perdata ialah
hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Hukum Perdata dalam
arti luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai
lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat (Hukum
Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur
hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari
masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak
dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam
hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat
Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP
(Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala
aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata
dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih
beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
a.
Faktor Ethnis disebabkan keaneka
ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri
dari berbagai suku bangsa.
b.
Faktor Hostia Yuridisyang dapat
kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga
Golongan, yaitu:
-
Golongan Eropa dan yang
dipersamakan
-
Golongan Bumi Putera
(pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
-
Golongan Timur Asing (bangsa
Cina, India, Arab).
Pasal 131.I.S. yaitu
mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang
tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas.
Adapun hukum yang
diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
a.
Bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan
dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas
konkordansi.
b.
Bagi golongan Bumi Putera
(Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum
yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum
Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c.
Bagi golongan timur asing
(bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa
golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk
menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk
beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Pedoman politik bagi
pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131
(I.S) (Indische Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75
RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
Hukum Perdata dan
Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Pidana harus diletakan dalam kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
Untuk golongan bangsa
Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai
azas Konkordansi).
Untuk golongan bangsa
Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab, dan lainnya) jika
ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
Orang Indonesia Asli
dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu
peraturan bersama denagn bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada
hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik
secara umum maupun secara hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
Sebelumnya hukum untuk
bangsa Indonesai ditulis di dalam Undang-undang. Maka bagi mereka itu akan
tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Disamping itu ada
peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
-
Ordonansi Perkawinan bangsa
Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-
Organisasi tentang Maskapai
Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717).
Dan ada
pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-
Undang-undang Hak Pengarang
(Auteurswet tahun 1912)
-
Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad
1933 no 108)
-
Ordonansi Woeker (Staatsblad
1938 no 523)
-
Ordonansi tentang
pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
1.3. Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum
Perdata Kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu, dari pemberlaku
Undang-undang berisi:
Buku
1
: Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan
hukum kekeluargaan.
Buku
11 : Berisi tentang hal
benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku
111 : Berisi tentang hal perikatan.
Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antar orang-orang atau
pihak-pihak tetentu.
Buku
1V : Berisi tentang pembuktian
dak daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat
hukum yang timbul dari adanya daluarsa.
Pendapat yang kedua
menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
Hukum rentang diri
seseorang (pribadi).
Mengatur tentang
manusia sebagai subyek dan hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu
dan selanjutnya tentan hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
11. Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
-
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami denagn
istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
111. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan
terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya
dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak
tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
-
Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
-
Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
1V. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda
atau kekayaan seseorang jika ia meningal. Disamping itu hukumwarisan mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
BAB IV “HUKUM PERIKATAN”
Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat
di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu
perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat
suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu
telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan
harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi
perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak
melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai
dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu
perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau
perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti
dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh
debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang
disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu
dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu
pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan,
oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi,
suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya
A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp.
600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,-
Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya
kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang
tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud
dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan
utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan
itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.
Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara
lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak
boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat
piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan
utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika
pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat
perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat
dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang
diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah
tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu
”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan
pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444
KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu
hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya
debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal
pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk
memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan
adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka
semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu :
batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan
undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan
jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi
hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap
tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta
dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut
adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada
putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap
untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan
kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali
dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar
jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata
hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang
menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada
umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan
hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap
dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi
perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini
disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu
sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan
semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat
batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru
dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau
berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat
obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan
tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat
itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah
suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu
tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua
macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang,
disebut ”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau
dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau
waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”.
Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat
dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
Sumber :